POLITIK NU



Tiga Jenis Politik NU


Dalam pertemuan rembang jilid 2.yang dihadiri sejumlah  ulama nu struktural maupun kultural.

Disebutkan tiga model politik yang selama ini dilaksanakan oleh NU, yaitu politik kenegaraan, politik kerakyatan, dan politik kekuasaan (indo pos, 1 juli 2004)

Bagi NU, dari tiga macam politik itu, politik kekuasaan (praktis) menempati kedudukan paling rendah. Pernyataan ini implisit untuk mengingatkan para politisi NU yang sudah ke luar dari Khittah 1926. Pertanyaannya, mengapa banyak tokoh NU lebih meminati politik kekuasaan praktis, padahal jenis politik ini banyak menimbulkan perpecahan dalam tubuh organisasi? Di kalangan NU ada asumsi, politik kerakyatan dan kenegaraan akan mendapatkan puncak pada peraihan politik kekuasaan.

Secara historis, kelahiran NU dibidani Hadratus Syekh Ha syim Asy'ari dan ulama-ulama terkemuka lain, seperti KH. Wahab Hasbullah dan Bisri Sansuri, tahun 1926. Salah satu tujuannya untuk melindungi praktik dan pemikiran keaga maan Muslim Indonesia yang beda dengan praktik dan pe mikiran keagamaan Muslim Timur Tengah, khususnya Arab Saudi, yang puritanistik.

Meminjam kerangka teori Elnerst Gellner, NU berdiri untuk membela praktis Islam yang cenderung dekat dengan local Islam. Dalam kitab Qanun Asasi Li Jami'ati Nahdlatul Ulama, K.H. Hasyim Asy'ari memprihatinkan adanya gerakan keaga maan baru yang menyerukan pemberantasan bidah (hetero doksi) dengan "kedok" kembali kepada Al Quran. Padahal, gerakan baru inilah yang sebenarnya memproduksi bidah. Pernyataan K.H. Hasyim ini bisa dianggap (1) merespons situasi internasional tentang maraknya gerakan Wahabisme di Timur Tengah dan, (2) terhadap situasi nasional tentang maraknya gerakan pembaharuan (puritanisme) Islam.

Dari sini bisa disimpulkan, pendirian NU bukan untuk tujuan politik kekuasaan, tetapi politik (keagamaan) kerakyatan. Maka, bagi umat Islam Indonesia yang menginginkan pelak sanaan praktik dan pemikiran keagamaannya dekat dengan tradisi lokalnya, kehadiran NU dinilai memberi perlindungan. Bila ini bisa disebut tindakan politik kerakyatan-dalam pengertian luas-maka politik jenis inilah yang patut disebut tingkatan politik tertinggi NU. Politik kenegaraan belum mun cul karena saat itu (1926) diskursus tentang negara belum ada.

Seiring kompleksitas perkembangan politik Indonesia, per jalanan politik NU juga berkembang. NU mulai bersentuhan dengan politik kenegaraan (kebangsaan), terutama menjelang dan pascakemerdekaan. Persentuhan ini merupakan pengaruh gerakan nasionalisme di beberapa negara yang bergerak menuju kemerdekaan. Kontribusi politik kenegaraan NU yang paling jelas adalah dukungan Wahid Hasyim, wakil NU pada PPKI, untuk tidak mencantumkan Piagam Jakarta di dalam dasar Negara kita.

Selain itu, selama menjadi organisasi sosial, juga politik keagamaan, NU tidak pernah terlibat kasus-kasus pemberon takan Islam. Komitmen terhadap negara dan bangsa diletak kan di atas segala-galanya karena NU menyadari, eksistensi negara adalah hal utama bagi kehidupan agama dan manusia sesuai dengan garis Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

Dua model politik NU itu-kerakyatan dan kenegaraan merupakan pengalaman paling ideal dalam sejarah NU. Me ngapa? Dua model ini menjadikan NU sebagai organisasi ke agamaan yang berorientasi pada kebaikan dan kepentingan umum (mashlahah 'ammah). Namun, NU ternyata tidak mam pu mempertahankan dua model politik ini karena godaan politik kekuasaan, baik dari tokoh NU sendiri maupun dari luar NU.

Keterlibatan pertama NU dengan politik kekuasaan adalah dukungan organisasi ini terhadap pendirian Masyumi. Ketika menjadi organisasi penyangga Masyumi, tokoh-tokoh NU ter libat perebutan kekuasaan baik untuk jabatan dalam tubuh partai maupun di luar partai (eksekutif). Politik kekuasaan masa ini diakhiri dengan perpecahan. Keterlibatan paling pekat dengan politik kekuasaan saat NU berdiri sebagai partai politik (1952) pascapecah dari Masyumi.

Menurut Greg Fealy, tujuan politik NU saat menjadi parpol adalah 1) penyaluran dana pemerintah terhadap NU, 2) men dapat peluang bisnis, dan 3) menduduki jabatan birokrasi (Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama Sejarah NU 1952-1967, LKIS: Yogyakarta, 2003). Dengan tiga tujuan politik seperti itu, tampaknya justru menyebabkan NU terjerembab dalam kubangan orientasi politik materialistis, lalai pada politik ke rakyatan. Bahkan pada periode ini NU dituduh sebagai opor tunis dan akomodasionis. Inilah periode terburuk sejarah NU [10.01, 21/3/2022] Riky Syamsudin: karena ketika menjadi parpol, NU tidak menunjukkan prestasi gemilang bahkan bisa dikatakan gagal.

Kegagalan itu tidak segera disadari sehingga saat Soeharto menerapkan kebijakan fusi bagi partai-partai politik Indonesia, NU tidak memanfaatkan momentum ini kembali ke jalan poli tik NU sesuai Khittah 1926. Bahkan NU tetap menjadi pendu kung PPP di garis depan. Dukungan terhadap PPP menunjuk kan orientasi politik kekuasaan masih menjadi prioritas utama. Dan apa yang terjadi selama bergabung dengan PPP, pengu langan sejarah saat NU bergabung dengan Masyumi. Merasa dicurangi dan dikebiri, NU memutuskan untuk kembali ke mo del NU tahun 1926, NU yang berorientasi pada jama'ah dan jam'iyyah.

Namun, keputusan kembali kepada Khittah 1926 ternyata tidak membuat NU benar-benar kembali kepada politik kerak yatan dan kenegaraan. Lubang untuk melakukan politisasi NU masih terbuka karena Khittah 1926 tidak tegas mengatur hu bungan antara organisasi dan pengurus. Padahal, ini merupa kan titik krusial yang menyebabkan pertarungan politik prak tis di antara tokoh NU. Dalam hal ini, Khittah 1926 hanya menyatakan NU sebagai organisasi harus netral, namun seba gai individu, pengurus NU bisa berpolitik praktis. Memang ada aturan, pengurus NU yang rangkap jabatan dalam parpol ha rus memilih salah satu. Namun, aturan ini tidak bisa diterap kan untuk kasus selain partai politik.

Meski dalam kadar berbeda, namun dari titik inilah muncul dua peristiwa politik berorientasi kekuasaan pasca-Khittah 1926 dalam tubuh NU. Pertama, kesediaan K.H. Abdurrahman Wahid menjadi calon presiden RI pada Pemilu 1999. Kedua, pencalonan K.H. Hasyim Muzadi oleh PDI-P untuk wakil presiden dalam pemilu presiden 5 Juli 2004.

Berdasarkan pengalaman itu, NU sebenarnya memiliki pe ngalaman amat kaya akan keterlibatannya dalam tiga medan politik (majal as-siyasi)-kerakyatan, kenegaraan, dan kekuasaan di atas. Namun dari ketiga lapangan itu, yang membuat NU menjadi tercerai berai dan penuh nuansa konflik adalah jenis politik kekuasaan. Semula diharapkan, dengan politik kekuasaan, dua kepentingan politik-kerakyatan dan kenega raan-bisa diperjuangkan, tetapi justru dua politik itu menjadi korban orientasi menuju politik kekuasaan. 

Karena itu, alangkah baiknya bila NU-organisasi dan pengurus-di masa datang meninggalkan politik kekuasaan. kembali ke rakyat dan negara. Biarlah politik kekuasaan dilaksanakan oleh mereka yang bergerak untuk wilayah ini.


red; 3-7

Comments

POS TERATAS :