Perjalanan NU sebagai ormas sosial-keagamaan selama ini cenderung menampilkan wajah politik kekuasaan yang domi nan. Tak heran jika banyak urusan sosial-keagamaan yang menjadi mandat organisasi menjadi terbengkalai. Sibuknya pengurus NU mengurusi politik kekuasaan, penguatan kader tak tergarap, pengelolaan aset-aset berantakan, pendidikan tak terurus, dan khidmat kepada umat hilang.
Ada beberapa kasus di
tubuh NU.
Pertama, banyak kader NU
lompat pagar. Biasanya kader NU lompat pagar ke te tangga (Muhammadiyah), kini
melompat jauh, menjadi kader PKS, Hizbut Tahrir, FPI, dan organisasi Islam
lainnya. Hal ini lebih banyak disebabkan tidak terawatnya kader NU akibat
ruang-ruang publik yang ada tak mencukupi bagi kader po tensial. Ruang-ruang
publik di NU lebih banyak dikuasai jajaran elite dan keluarganya sehingga kader
kehilangan ruang yang bisa dijadikan basis gerakan.
Kedua, masjid sebagai
simbol utama penguatan dan pe nyebaran tradisi NU mulai "direbut"
kelompok lain. Masjid masjid yang dulu diurus pengurus ta'mir dari warga NU,
kini mulai masuk kelompok radikal dan memengaruhi iklim keaga maan masjid. Tak
heran jika Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mulai resah karena masjid yang
selama ini diklaim menjadi basis sosial-keagamaan NU banyak beralih, seperti ke
MMI, HTI, dan PKS. Warna keagamaan yang biasanya meng gunakan tradisi NU hilang
seiring dengan perubahan kepengurusan masjid.
Jika dulu mereka hanya
menguasai masjid-masjid kampus melalui Lembaga Dakwah Kampus (LDK), terutama
kampus kampus umum, seperti UI, ITB (Masjid Salman), dan UGM (Masjid
Salahuddin), kini masjid-masjid di pedesaan dan perkotaan dimasuki kelompok
lain.
Ketiga, meski di beberapa daerah pesantren dan madrasah tetap eksis sebagai bagian model pendidikan NU, di perkotaan, banyak sekolah Islam lebih modern yang menyedot perhatian masyarakat. Munculnya sekolah Islam terpadu, seperti SDIT, telah meminggirkan peran pesantren dan madrasah. Kini, masyarakat Muslim lebih tertarik menyekolahkan anak-anaknya di SDIT ketimbang di pesantren. Berbekal manajemen modern, sarana yang cukup, dan penguasaan mutu pendidikan, sekolah-sekolah Islam terpadu mampu mengubah cara pandang masyarakat Muslim agar menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah Islam yang lebih modern ketimbang pesantren dan madrasah NU yang terkesan tradisional. Titik lemah organisasi NU adalah karena banyaknya jemaah dan besarnya organisasi sehingga tidak serius memerhatikan warga dan asetnya. Sebaliknya, kelompok-kelompok radikal justru amat perhatian terhadap warganya. Inilah yang harus mendapat perhatian serius dari NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Comments
Post a Comment